BAB I
PENDAHULUAN

Dalam bahasa sederhana paradigma adalah cara pandang, pola pikir, cara berpikir. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir. Paradigma akan memengaruhi cara pandang dalam melihat realitas dan bagaimana cara menyikapinya. Ilmuwan sosial Thomas S Kuhn, orang yang kali pertama menggunakan konsep paradigma, melalui buku Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda mengungkapkan paradigma bukan saja bersifat kognitif tapi juga normatif. Paradigma bukan saja memengaruhi cara berpikir kita tentang realitas, tetapi juga mengatur cara mendekati dan bertindak atas realitas.
Dalam upaya membangun suatu pemahaman ilmiah mengenai pengalaman manusia yang komprehensif dan progresif antropologi menyandang dua tugas. Pertama, mengonstruksi paradigma yang bermakna dan produktif yang mampu menjelaskan fenomena manusia yang signifikan. Kedua, mempertajam paradigma tersebut dengan kritis dan kompratif. Perbandingan paradigma-paradigma tidak mendorong kita untuk memilih paradigma, sedangkan paradigma tertentu mungkin akan digantikan oleh paradigma lain dengan landasan pertimbangan tertentu. Akhirnya sasaran kajian antropologi adalah untuk mengembangkan paradigma secara lebih tajam daripada paradigma sebelumnya untuk menjelakan kondisi manusia. Barangkali, tak aka nada paradigma yang terbaik, yang terpenting kita catat bahwa suatu paradigma mungkin lebih baik daripada pardigma lain, tetapi tidak ada paradigma yang dapat menganalisis semua kemungkinan.
 BAB II
PEMBAHASAN
Dalam upaya membangun suatu pemahaman ilmiah mengenai pengalaman manusia yang komprehensif dan progresif antropologi menyandang dua tugas. Pertama, mengonstruksi paradigma yang bermakna dan produktif yang mampu menjelaskan fenomena manusia yang signifikan. Kedua, mempertajam paradigma tersebut dengan kritis dan kompratif. Perbandingan paradigma-paradigma tidak mendorong kita untuk memilih paradigma, sedangkan paradigma tertentu mungkin akan digantikan oleh paradigma lain dengan landasan pertimbangan tertentu. Akhirnya sasaran kajian antropologi adalah untuk mengembangkan paradigma secara lebih tajam daripada paradigma sebelumnya untuk menjelakan kondisi manusia. Barangkali, tak aka nada paradigma yang terbaik, yang terpenting kita catat bahwa suatu paradigma mungkin lebih baik daripada pardigma lain, tetapi tidak ada paradigma yang dapat menganalisis semua kemungkinan.
Dalam sejarah perkembangan antropologi diwarnai oleh divegensi teori yang semakin meningkat, dan pola tesebut nampaknya terus berlangsung. Tidak ada kesepakatan tentang berapa jumlah paradigma dalam antropologi masa kini. Berikut adalah beberapa contoh paradigma antropologi (Achmad fedyani 2005: 63-66).
1.      Evolusionisme klasik Paradigma ini berkembang pada kahir abad ke-19 tatkala disiplin ilmu  paradigma ini untuk pertama kalinya menemukan identitasnya yang jelas. Evolusionisme klasik – khususnya Lewis Henry Morgan (1977) dan Edward B. Tylor (1871) berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitf, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks (yakni, pada masa peradaban Barat abad ke-19). Paradigma ini mengalami kendala karena mengandalkan data tangan kedua, suatu etnosentrisme implicit, dan kecenderungan menghasilkan teori-teori yang spekulatif dan tidak bias diuji. Akan tetapi, evolusionisme klasik memiliki andil besar bagi pengembangan metode komparatif, yang terbukti merupakan kontribusi amat penting bagi antropologi.
2.      Difusionisme  Populer khususnya di Inggris dan Jerman pada awal abad kedua puluh, paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman diantara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan. Difusi adalah proses historis dari perubahan kebudayaan melalui transmisi lintas-budaya dari objek-objek materi dan perilaku dan keyakinan yang dipelajari. Difusionis Erofa terkemuka adalah Fritz Graebner (1911) dan Wilhelm Schmidt (1939). Di Amerika Serikat, paradigma ini mengekspresikan dirinya melalui konsep “daerah kebudayaan” dan tampak secara mencolok dalam karya Clark Wissler (1917) dan Alfred Kroeber (1939). Namun, semenjak pertengahan abad ke-20 difusionisme tak lagi memiliki pendukung yang signifikan.
3.      Partikularisme Historis paradigma yang dibangun oleh bapak antropologi Amerika, Franz Boas (1963(1911))  ini terutama memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnogafi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu. Partikularisme historis menolak teori-teori evolusionis klasik yang terkadang spekulatif, akan tetapi sebaliknya memperjuangkan upaya mengidentifikasi proses-proses historis yang bertanggung jawab bagi perkembangan kebudayaan-kebudayaan tertentu. Partikularisme historis menekankan pentingnya penelitian lapangan tangan pertama yang lengkap dan ekstensif yang bertujuan membangun catatan yang selengkap dan seakurat mungkin mengenai kehidupan suatu masyarakat asli. Partikularisme sejarah meninggalkan jejak yang mendalam dalam antropologi Amerika serikat. Namun, tidak ada penelitian antropologi masa kini yang mengikuti saran-saran paradigma tersebut; arti penting paradigma ini secara eksklusif adalah historis.
4.      Struktural-Fungsionalisme paradigma ini dikembangkan terutama di Inggris, khususnya oleh A. R. Radcliffe-Brown (1952) dan B. Malinowski (1922). Prinsip yang melandasi paradigma ini adalah analogi biologi: Struktural-fungsionalisme berasumsi bahwa komponen-komponen system sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, befungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan system. Di Amerika Serikat, paradigma ini menimbulkan dampak terbesar terhadap kalangan sosiolog, dimana Talcott Parsons (1937) adalah salah satu tokoh yang terpenting. Paradigma structural-fungsionalisme secara utuh hanya mengilhami sedikit, itu pun kalau masih ada, penelitian antropologi masa kini, akan tetapi bagaimana pun konsep fungsi selalu tersirat dalam semua teori antropologi mengenai struktur masyarakat.
5.      Antropologi Pisikologi Pertama kali dibangun di Amerika Serikat pada tahun 1920-an, pada mulanya disebut “kebudayaan dan kepribadian”. Antropologi psikologi mengekspresikan dirinya kedalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat. Penelitian dalam antropologi psikologi terutama terletak pada konsep-konsep dan teknik-teknik yang dikembangkan dalam psikologi. Kedua tokoh kunci dalam sejarah paradigma ini adalah Margaret Mead (1928) dan Ruth Benedict (1934). Paradigma ini masih cukup berpengaruh hingga pertengahan tahun 1980-an, tetapi kemudian surut setelah itu.
6.      Strukturalisme Paradigma ini dibangun oleh ahli antropologi Perancis Claude Levi-Strauss (1963;1976). Strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia-yakni, struktur dari poses pikiran manusia-yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya. Strukturalisme berasumsi bahwa pikiran manusia senantiasa distrukturkan menurut oposisi binari, dan kaum strukturalis mengklaim bahwa oposisi-oposisi tersebut tercermin dalam berbagai variasi fenomena kebudayaan, termasuk bahasa, mitologi, kekerabatan, dan makanan.
7.      Materalisme Dialektik Prinsip-prinsip teoritis mendasar dari paradigma ini pertama kali diartikulasikan oleh Karl Marx lebih dari seabab yang lalu. Materalisme dialetik berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan system sosial budaya. Para pendukung paradigma ini berpendapat bahwa suatu struktur dan ideology suatu masyarakat ditentukan oleh mode produksi dan yakin bahwa masyarakat kapitalis memiliki benih-benih destruksinya sendiri dalam “kontradiksi” yang melekat antara keinginan akan keuntungan dan kebutuhan untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Banyak antropolog masa kini diilhami oleh paradigma ini, termasuk misalnya Marshall Sahlins (1976). Salah satu kritik yang penting dan dikonsepsikan dengan baik terhadap paradigma ini adalah dari Marvin Harris (1979:141-164).
8.      Cultural Materialisme Paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya. Formulasi paling awal, sebagaimana dikembangkan oleh Leslie White (1949; 1959) dan Julian Steward (1955), dikenal sebagai “neo-evolusionisme” atau “ekologi budaya”; kini paradigma tersebut paling dekat dengan karya Marvin Harris (1979). Materialis kebudayaan mengemukakan bahwa mode produksi dan reproduksi masyarakat menentukan struktur sosial dan suprastruktur ideology, tapi materialis kebudayaan menolak bahwa konsep metafisika dari dialektika Hegel yang merupakan bagian dari materialism dialetik. Paradigma ini masih kuat pengaruhnya dalam antropologi, khususnya di Amerika.
9.      Etnosains Paradigma ini juga disebut “antropologi kognitif ” atau “etnografi baru”. Paradigma ini dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an sebagai strategi penelitian untuk mengidentifikasi aturan-aturan kebudayaan yang implisit yang melandasi perilaku. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
10.  Antropologi Simbolik paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia secara individual, dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia, memberikan makna kepada kehidupannya. Juga disebut “antropologi interpretif ”, paradigma ini berpengaruh besar dalam antropologi hingga kini.
11.  Sosiobilogi Paradigma ini dipandang sebagai “reduksionisme biologi” oleh kebanyakan antropolog sosial budaya, tak banyak biolog yang menaruh minat menggunakan pendekatan ini. Dikembangkan oleh seorang ahli biologi, Edward Wilson yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolosi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak prilaku kebudayaan.

BAB III
PENUTUP

Paradigma terdiri dari asumsi dan prinsip ontologism dan epistemology khusus yang meliputi pula prinsip-prinsip teoretis, yang berdasarkan prinsip-prinsip tersebut teori-teori khusus yang dapat dibuktikan dibagun. Paradigma memberikan ranah yang sesuai bagi suatu kajian yang di dalam ranah tersebut prinsip-prinsip epistemology dan teoretis diterapkan.
Dalam sejarah perkembangan antropologi diwarnai oleh divegensi teori yang semakin meningkat, dan pola tesebut nampaknya terus berlangsung. Tidak ada kesepakatan tentang berapa jumlah paradigma dalam antropologi masa kini. Berikut adalah beberapa contoh paradigma antropologi (Achmad fedyani 2005: 63-66).
1.      Evolusionisme klasik
2.      Difusionisme
3.      Partikularisme Historis
4.      Struktural-Fungsionalisme
5.      Antropologi Pisikologi
6.      Strukturalisme
7.      Materalisme Dialektik
8.      Cultural Materialisme
9.      Etnosains
10.  Antropologi Simbolik
11.  Sosiobilogi

DAFTAR PUSTAKA
https://mashadimilanisti.wordpress.com/2013/01/22/paradigma-antropologi/. Diakses tanggal 29 September 2019.
https://autoratio.com/W0uTv

Post a Comment

Previous Post Next Post